Jangan lihat dari butiran biji yang menghitam karena proses roasting. Tapi lihat bagaimana kehadirannya menjadi kekuatan revolusi sosial. Perjalanan ini tidak sebentar. Ditanam oleh masyarakat Ethiopia, masyarakat Arab kemudian membawa ke level yang lebih tinggi dari sekedar minuman domestik rumahan.
Kopi, Sebuah Perjalanan
Istilah kopi yang kita kenal, berasal dari bahasa Arab “qahwa” diadaptasi ke dalam bahasa lainnya seperti seperti bahasa Turki “kahve”, bahasa Belanda “koffie”, bahasa Perancis “café”, bahasa Italia “caffè”, bahasa Inggris “coffee”, bahasa Cina “kia-fey”, bahasa Jepang “kehi”, dan bahasa melayu “kawa” . (ncausa.org)
Kopi secara signifikan menjadi minuman di kedai kopi di mana-mana "qahveh khaneh " yang bermunculan di desa-desa, kota-kota di seluruh Timur Tengah dan Afrika timur. Rumah-rumah kopi ini segera menjadi ruang beramah tamah dan tempat untuk bersosialisasi. Minum kopi di tengah percakapan dengan hiburan pertunjukan musik, menari, permainan catur, juga bergosip, berdebat dan mendiskusikan berita, peristiwa yang terjadi di hari itu.
Kedai kopi telah berubah menjadi schools of the wise. Kopi dan intelektualitas-pun terjalin.
Tahun 1600-an para pedagang di Venesia membawa kopi menyebar ke daerah Eropa lainnya, menyeberang Samudra Atlantik hingga tiba di New York. Orang Belanda membawa kopi dari Malabar, India, dan tibalah ke Jawa.
Tahun 1600-an para pedagang di Venesia membawa kopi menyebar ke daerah Eropa lainnya, menyeberang Samudra Atlantik hingga tiba di New York. Orang Belanda membawa kopi dari Malabar, India, dan tibalah ke Jawa.
Kopi adalah Gaya Hidup
Kopi bukan lagi hanya seduhan cangkir rumahan, atau gelas putih bening di warung kopi sembari menikmati singkong rebus dan rokok kretek. Mereka yang berdasi, para pekerja, bos-bos yang melakukan rapat mengubah ritual kafein menjadi penggambaran akan kondisi keuangan pribadi dan bagaimana seseorang menggunakan uang (Cooper, 2014, dalam Consumer Behavior of Coffee Drinker ).
Coffee is a lifestyle.
Coffee is a lifestyle.
Kopi menjadi rekan dalam bercerita. Pernah suatu kali saya sedang begitu penat akan rutinitas harian. Saya sengaja duduk menyendiri di sebuah kedai kopi mainstream. Memesan green tea latte yang "mungkin" tidak se-kopi, kopi yang sebenarnya. Manisnya lebih dominan.
Meski demikian kesendirian saya berteman kopi ini berhasil meluruskan benang kusut dalam pikiran saya. Ketika seorang kawan hadir bergabung, obrolan kami berdua berubah menjadi diskusi yang menyenangkan. Kami membicarakan banyak cita dan cinta. Tanpa terasa bergelas-gelas kopi melewati kerongkongan. Kopi menjadi mediator kami berbagi rasa.
Entah bagaimana Tuhan menciptakan kopi. Jenisnya amat beragam, diolah dengan berbagi cara, disuguhkan dengan berbagai cita rasa. Namun, selalu berhasil membangkitkan selera. Pada kopi kita belajar keberagaman. Kita manusia mampu menerima perbedaan rasa dengan suka cita dan dengan hati terbuka.
Kopi dalam Ruang Inklusi
Kita pasti sepakat bahwa kopi membangun sebuah ruang yang lebih terbuka. Ketika ada kopi di hadapan kita, ide-ide, gagasan, opini menjadi lebih mudah tersampaikan. Kopi berhasil mengajak masuk dan mengikutsertakan semua orang dengan berbagai perbedaan latar belakang, karakteristik, kemampuan, status, kondisi, etnik, budaya dan lainnya.
Kopi mampu meniadakan hambatan dan menghasilkan lingkungan yang menyenangkan. Seperti ketika kita berada di sebuah coffee shop. Kita yang secara fisik berada di sana, bertemu dengan beragam manusia, bisa merasa saling menghargai dan merangkul setiap perbedaan.
Inclusion is about living full lives. About learning to live together.
Inclusion in Diversity
Keberagaman adalah keniscayaan. Keberagaman adalah takdir yang digariskan Tuhan. Setiap manusia hadir dengan latar belakang, histori masa lalu, kemampuan dan pengalaman hidup yang berbeda. Tapi kita punya satu kesamaan. Kita sebagai zoon politicon ingin mendapatkan penghargaan yang sama dari orang lain, ingin dihargai, ingin dihormati, ingin setara, tidak ingin dibeda-bedakan.
Namun tidak dapat dipungkiri, kehidupan masyarakat kita tidak se-ideal yang kita harapkan. Struktur sosial menghadirkan mereka yang disebut kelompok marjinal. Marjinal atau marginal digambarkan sebagai suatu kelompok sosial tertentu yang keberadaannya dianggap sebagai kelompok masyarakat yang memiliki status sosial paling rendah dan terpinggirkan. Di Indonesia, kaum marjinal menyandang berbagai masalah kesejahteraan sosial yang kompleks. Keberadaan mereka tidak dianggap akibat sikap eksklusivitas kelompok masyarakat lainnya.
Hal inilah kemudian yang menjadi dasar pergerakan dari Program Peduli . Mengutip langsung dari website resminya, Program Peduli dirancang pemerintah untuk meningkatkan inklusi sosial bagi enam kelompok yang paling terpinggirkan di Indonesia, yang kurang mendapat layanan pemerintah dan program perlindungan sosial.
Enam kelompok sasaran Program Peduli adalah
(1) Anak dan remaja rentan
(2) Masyarakat adat dan lokal terpencil yang tergantung pada sumber daya alam
(3) Korban diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan berbasis agama
(4) Orang dengan disabilitas
(5) Hak asasi manusia dan restorasi sosial
6) Waria. (Sumber : programpeduli.org)
Maka kemudian untuk meningkatkan inklusi sosial dan ekonomi dalam pembangunan Indonesia, meningkatkan akses pelayanan hak dasar dan penerimaan sosial bagi mereka yang terpinggirkan, Program Peduli melaksanakan program yang disebut Barista Inklusif.
Semangat Kesetaraan dalam Barista Inklusif
Barista Inklusif adalah program yang digagas oleh Program Peduli bekerja sama dengan Pusat Rehabilitasi Yakkum, Yogyakarta dan Cupable Coffee - cups for empowering difable people, yang melibatkan rekan difabel untuk mendapatkan pelatihan menjadi barista profesional.
Barista sendiri dikenal sebagai orang yang menyajikan minuman (kopi dan lainnya) kepada pelanggan. Seperti yang kita tahu, barista memang bekerja di kedai kopi, bar-kopi atau coffee shop dan biasanya mengoperasikan mesin-mesin espresso komersial yang cenderung rumit. Bukan hanya sekedar menyiapkan minuman, seorang barista yang terampil juga dituntut memiliki pengetahuan yang baik tentang seluruh proses kopi, sehingga kopi yang dihasilkan mampu memuaskan para pelanggannya.
Sebanyak delapan orang terlibat dalam program Barista Inklusif ini selama satu bulan. Pelatihan berjenjang dilakukan di bawah pengawasan langsung barista-barista yang bekerja di Cupable Coffee dan pemilik Cupable Coffee, Banu Subagio. Para peserta pelatihan belajar mulai dari hal dasar, seperti mengenal berbagi jenis kopi, mengoperasikan berbagai peralatan, hingga pratik membuat bermacam-macam kopi yang nikmat. Pengetahuan mengenai manajemen perencanaan bisnis, dan aktivitas promosi melalui media sosial juga peserta pelatihan dapatkan.
Dipilihnya rekan difabel untuk terlibat dalam Barista Inklusif ini bukannya tanpa alasan. Seperti yang kita tahu, bahwa penyandang disabilitas termasuk dalam kelompok minoritas yang menjadi sasaran Program Peduli.
Kepala Pusat Rehabilitasi Yakkum menjelaskan, bahwa ada lebih dari 25.000 orang penyandang disabilitas di Yogyakarta. Salah satu permasalahan yang dihadapi adalah sempitnya lapangan pekerjaan yang terbuka bagi penyandang disabilitas. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya ketrampilan yang yang mereka miliki.
Hal ini kemudian yang menjadi tujuan hadirnya Barista Inklusif ini, yakni
1. Mencetak barista profesional dari kalangan difabel.
2. Meningkatkan produktivitas dan peningkatan skill
3. Terbukanya lapangan pekerjaan
Pada akhirnya setelah program Barista Inklusif ini diikuti, rekan difabel dapat kembali ke masyarakat dengan ketrampilan yang lebih baik. Ruang-ruang bisnis seperti coffee shop dapat menerima mereka dengan baik berdasarkan kemampuan profesional yang mereka miliki. Baiknya lagi, rekan difabel dapat membuka warung kopi secara mandiri. Terlebih selama pelatihan, mereka juga telah mendapatkan materi mengenai penerimaan diri, komunikasi efektif dan pemecahan masalah
Karena Kopi Kita Setara
Minggu, 29 Juli 2018 saya berkesempatan hadir di acara Kopi Brewbagi, Barista Inklusif, Karena Kopi Kita Setara, bertempat di halaman Cupable Coffee dan Pusat Rehabilitasi Yakkum. Acara yang dimulai pukul 10.00 ini sangat menarik. Kami yang hadir dapat mendengarkan berbagai gagasan dari beberapa narasumber. Mereka adalah Bernard Batubara, penulis, Rani Ayu Hapsari, project manager Program Peduli Pilar Disabilitas, Frischa Aswarini, penulis ide cerita film Filosofi Kopi 2 dan Eko Sugeng, peserta pelatihan Barista Inklusif.
Pada sesi ngobrol santai ini, masing-masing narasumber menceritakan kedekatan mereka dengan kopi. Bernard Batubara, yang menjadi penulis sejak 2007 ini bercerita momen ketika ia mengalami titik jenuh dalam dunia kepenulisan dan ingin berhenti menulis. Pada fase ini dia mengalihkan rutinitasnya dan tertarik pada aktivitas di kedai kopi. Rasa penasarannya pada mesin kopi justru membuat imajinasinya kembali menari-nari dalam pikirannya. Momen ini menjadi tiik balik dimana rasa rindu akan menulis kemudian terlahir kembali. Meski kemudian lebih sering menyeduh kopi rumahan, kopi telah menjadi teman bagi Bernard Batubara dalam melahirkan tulisan.
Kisah lain bergulir dari Frischa Aswarini. Meski mengaku lambungnya terasa perih jika menikmati kopi, kopi menjadi hal yang berhasil menjadi inspirasi dalam dia berkarya. Tempat tinggalnya di Bali juga lekat dengan budaya ngopi di kedai-kedai. Maka tidak asing baginya, bahwa kopi menjadi media bertukar pikiran.
Rani Ayu Hapsari dari Program Peduli juga menyadari betul bahwa kopi menjadi media bagi penyandang difabel untuk bersuara. Kopi menjadi pintu masuk bagi mereka untuk dapat diterima di masyarakat. Karena melalui kedai kopi-lah, orang lebih mampu menghargai sesamanya.
Eko Sugeng juga merasa bahagia dapat mengikuti program Barista Inklusif ini. Hobinya ngopi selama ini, menjadi lebih berarti ketika dia memiliki skill lainnya. Eko Sugeng tidak lagi keluar masuk kedai kopi hanya sekedar menjadi penikmat. Barista Inklusif memberikannya kesempatan untuk berkarya melalui kopi.
Saya pribadi merasa tergugah mengikuti acara ini. Saya tidak menyangka bahwa kopi memiliki ceritanya masing-masing. Kopi punya caranya sendiri untuk memikat hati.
Acara Barista Inklusif, Karena Kopi Kita Setara ini melibatkan berbagai komunitas, salah satunya komunitas blogger. Sembari menyimak setiap obrolan yang mengalir, kami juga mengikuti kompetisi instagram yang diadakan.
Sesi terakhir yang tidak kalah seru adalah sesi fun battle. Dimana para barista beradu saling menunjukkan kemampuannya dalam menghasilkan kopi yang istimewa.
Sebuah Konklusi
Pada akhirnya kita semua akan difabel.- Bernard Batubara
Sebenarnya, saya lebih suka menggunakan istilah difabel daripada disabel. Disabel memiliki makna "ketidakmampuan". Sedangkan difabel lebih memiliki makna "memiliki kemampuan yang berbeda". Bagi saya, mereka rekan difabel mampu kok melakukan banyak hal sehari-hari sama seperti kita yang "normal", hanya saja kemampuannya yang berbeda atau dengan cara yang berbeda.
Maka ketika mendengar apa yang disampaikan Bernard Batubara, bahwa pada akhirnya kita semua akan difabel, hati saya langsung terketuk dan mengamininya. Pada akhirnya akan ada suatu titik dimana hal -hal yang dapat kita lakukan saat ini, akan kita lakukan dengan kemampuan kita yang berbeda. Entah karena suatu kondisi, sakit atau karena menua. Hal ini menjadi pengingat kita untuk jangan jumawa. Untuk apa merasa eksklusif dengan apa yang kita miliki saat ini, jika pada akhirnya kita juga akan menjadi sama.
Terima kasih Program Peduli, Pusat Rehabilitasi Yakkum dan Cupable Coffee yang telah memberikan kesempatan bagi kami untuk belajar tentang perbedaan. Mari bersama mewujudkan Indonesia Inklusif yang setara dan semartabat.
Kita harus belajar dari kopi. Meski disajikan dengan cara berbeda-beda, kita menerimanya dengan suka cita.
Tulisan ini begitu detail. Jadi memahami apa itu inklusivitas. Memang sudah selayaknya kita mneghargai sesama. Memandang perbedaan dengan lebih terbuka
ReplyDeletebelajar bersama tentang keberagaman ya mbak
DeleteIndahnya perbedaan. Bicara soal kopi, saya suka banget mbak ngopi, apalagi kalau lagi ada deadline. Mata jadi strong buat menyelesaikan DL 😁
ReplyDeletewah, ketemu sama penikmat kopi nih ternyata
DeleteSetuju sama bernard,kopi bisa jadi teman inspirasi dalam menulis..saya banget ini.
ReplyDeleteasyik,,ada lagi cerita tentang kopi di sini
DeleteKopi? Hemm... Saya dan keluarga salah satu yg tidak minum kopi. Jadi soal kopi kami dangkal banget. Beli kopi kalau ada orang kerja di rumah. Itu pun beli kopi sachetan.
ReplyDeleteBaca semua informasi terkait kopi disini bikin wawasan saya banyak nambah.
sama, saya juga penyeduh rumahan, kopi sasetan seribuan
DeleteMeskipun Bukan peminum kopi tulisan ini memberikan saya banyak informasi terutama tentang pelatihan untuk balitabarista difabel
ReplyDeleteprogram yang menarik dari program peduli
DeleteSaya dulu pecinta kopi mbak , selalu ada kebahagian tersendiri saat menghirup aroma kopi hingga abissegelas ... tp sayang saat ini lambung sdh tidak bersahabat dgn kopi lg ...
ReplyDeletearoma kopi untuk relaksasi...saya juga bukan penikmat kopi mbak, lebih memilih kopi untuk pewangi ruangan atau parfum malah
DeleteSubhanallah.. mereka yang berkebutuhan khusus juga memiliki hak yang sama ya ka.. bersyukur banget ada yang memikirkan Hal Ini, menariknya lagi tentang kopi..semoga semakin banyak orang yang tergerak untuk tetap memberdayakan para orang yang berkebutuhan khusus
ReplyDeleteprogram yang menarik ya mbak..semoga diikuti oleh banyak komunitas, atau perusahaan lainnya mellaui agenda CSR
DeleteTidak mudah ya untuk jadi Barista. Belum lama ini melihat lomba platting kopi, seruu.
ReplyDeletebetul, salut. profesi barista itu seniman juga
DeleteKopi itu memiliki filosofi yang banyak...meski pahit menebarkan aroma wangi. Bahkan rasa pahitnya menjadi sesuatu ketika dikolaborasikanndengan gula atau pun susu
ReplyDeletemeski sekarang banyak kopi tak pahit lagi.. tapi semua bebeas ya menikmati kopi dengan caranya sendiri
DeleteSaluuuuut Banget sama orang-orang difabel yang profesional2 seperti ini. Apalagi barista. Butuh skill dan kemampuan mumpuni untuk bisa jadi barista. Keren.
ReplyDeletebetul..tentu tidak mudah. tapi saya melihat semangat dari rekan-rekan yang ikut pelatihan ini sungguh luar biasa
DeleteWow keren, baru tau ada barista inklusif. Mereka jg bisa bikin kopi seenak barista yg normal ya... keren... Aku jg lbh suka pakai kata difabel mbak.
ReplyDeleteistilah difabel lebih berkonotasi positif, menurut persepsi saya mbak.
DeleteBener bngt kopi itu segalanya bisa jadi teman inspirasi yang paling jujur
ReplyDeletepenikmat kopi juga nih sepertinya..
DeleteKopi adalah pilihan tepat sebagai media menyuarakan kesetaraan karena sifat kopi yang egaliter. Semoga makin banyak program pemberdayaan kaum marjinal agar mereka bisa mandiri.
ReplyDeleteWaaaah barista inklusif ini keren sekaki ya, tetap bisa berkarya dalam keterbatasan. Akupun juga penyuka kopi. Bener banget, apapun bentuk kopinya aku pasti selalu menerima dengan sukacita <3
ReplyDelete