Ngelihat postingan di sosmed, terus jadi baper? Beneran? Kalau saya sih percaya. Nggak mulu karena postingan dari mantan deh, bahkan postingan fashion blogger yang lagi nenteng tas mahal keluaran Dior aja bikin baper dan mupeng.
Belum lagi ngepoin para artis yang hobi travelling keluar negeri. Kalau nggak kuat mental, udah siap-siap tuh celengan dicongkel untuk beli tiket pesawat.
Lihat berbagai isu politik terus jadi marah dan kesel? Habis itu keluar semua hate speech? Wah, sepertinya bukan hal yang baru. Jadi nggak heran kalau tuntutan terhadap kasus pencemaran nama baik atau pelanggaran UU ITE makin sering.
Itulah fenomena social media saat ini.
Ngomongin sosmed memang nggak ada habisnya. Ada penelitian menarik nih! Diantara berbagai social media, instagram yang paling tinggi efek negatifnya terhadap kesehatan mental remaja. The Royal Society for Public Health and the Charity Young Health Movement melakukan survei di 2017 terhadap 1.500 orang muda (usia 14 -24 tahun) di Inggris
Para responden diminta untuk menilai bagaimana setiap situs media sosial mempengaruhi 14 daftar masalah kesehatan dan kesejahteraan termasuk anxiety, depression, loneliness, sleep, bullying dan ‘FoMo’ (Fear of Missing Out).
Hasilnya instagram dianggap memberikan pengaruh terhadap persepsi terhadap bentuk tubuh, FoMo atau ketakutan ketinggalan suatu berita dan gangguan tidur. More : here
Apakah saya percaya terhadap hasil riset ini?
Saya berkaca pada diri sendiri saja deh. Nggak jauh-jauh. Sejak mengenal instagram, tingkat belanja online saya meningkat. Ada saja barang "lucu" yang saya temui di feed instagram yang menggoda saya untuk melakukan pembelian. Belum lagi, intensitas saya pegang handphone hanya untuk scroll up down melihat feed para influencer di dunia ternyata sangat sering. And i do every single day. Sampai kurang tidur, terlebih jika menyangkut ke urusan pekerjaan saya sebagai blogger dan social media buzzer.
Itu terjadi pada saya yang sebenarnya sudah teredukasi mengenai bagaimana framing di dunia maya itu bagian dari strategi komunikasi. Tetapi tetap juga kena dampaknya. Lantas, bagaimana untuk mereka kaum remaja yang memang lebih rentan terganggu mentalnya?
Social Media dan Gangguan Mental
Please, kalau ngomongin kesehatan mental jangan buru-buru berpikir tentang orang dengan ganguan kejiwaan. Karena gangguan mental itu bisa menyerang siapa saja, yang bahkan dirinya tidak sadari.
Kesehatan mental itu ketika kita menikmati hidup.
Kesehatan mental yakni ketika kita merasa sejahtera secara emosional, psikologis, dan sosial yang kemudian akan memengaruhi cara kita berpikir, merasakan sesuatu, dan bertindak. (mentalhealth.gov)
Jadi gini, orang yang kesehatan mentalnya baik, umumnya akan mudah mengelola stres dalam dirinya. Kemudian dia mudah berhubungan/ bersosialisasi dengan orang lain dan tepat dalam mengambil pilihan dan keputusan.
Nah, terus bagaimana social media bisa mengganggu kesehatan mental?
Social media has been described as more addictive than cigarettes and alcohol - Shirley Cramer, chief executive of the RSPH
Yang pertama adalah masalah ketergantungan. Swansea University melakukan riset yang hasilnya menyatakan bahwa pengguna media sosial menunjukkan gejala seperti kecemasan, sedih dan merasa kesepian ketika berhenti menggunakan social media. Juga ada kecenderungan membandingkan dirinya dengan orang lain.
Membandingkan hidup diri sendiri dengan hidup orang lain juga menjadi gejala bahwa kesehatan mental terganggu. Hal ini memang sulit dicegah jika setiap hari kita menerima terpaan pesan gambar atau video yang menunjukkan kehidupan menyenangkan orang lain. Yang mungkin itu bukanlah kenyataan yang sebenarnya namun hanya framing di media.
Baca Juga : Ngapain sih Harus Membangun Personal Branding di Sosmed?
Memahami Framing Media Massa
Teori framing dalam komunikasi massa adalah teori atau proses tentang bagaimana pesan media massa memperoleh dan membuat perspektif, sudut pandang dari suatu peristiwa.
Framing bertujuan membingkai sebuah informasi agar melahirkan citra/kesan sesuai yang diinginkan pembuat konten (media) yg akan ditangkap audience/ khalayak/ follower/ komunikan dll.
Mudahnya begini, bahwa pembuat konten di media sosial akan menentukan bagian mana yang akan ditampilkan di media sosial, sehingga para pengguna media sosial atau pengikut akan memiliki perspektif tersebut.
Framing bertujuan membingkai sebuah informasi agar melahirkan citra/kesan sesuai yang diinginkan pembuat konten (media) yg akan ditangkap audience/ khalayak/ follower/ komunikan dll.
Mudahnya begini, bahwa pembuat konten di media sosial akan menentukan bagian mana yang akan ditampilkan di media sosial, sehingga para pengguna media sosial atau pengikut akan memiliki perspektif tersebut.
Framing bukan kebohongan, tetapi menyeleksi informasi yang akan ditampilkan.
Contoh jika seorang foodblogger ingin menujukkan eksistensinya, tentu dia akan mengunggah foto-foto makanan yang terlihat enak. Padahal mungkin saja makanan tersebut dibuat di dapur resto yang kotor. Namun foto dapur kotor itu tidak akan pernah ditunjukkan karena akan mempengaruhi persepsi followernya.
Memahami Teori Framing |
Jadi intinya gini, bahwa apa yang kita lihat di social media adalah apa yang memang ingin ditunjukkan oleh pembuat konten. Bisa kenyataan yang sebenarnya, bisa juga tidak. Ada motif dibalik konten tersebut. Entah untuk pamer, entah promosi, entah hanya ingin mendokumentasikan dan menjadikkannya portofolio pekerjaan.
Baca Juga : Tulisan yang Disuka Pembaca Milenial
Nah..nah...kalau kita sudah memahami bahwa konten (pesan) di social media itu penuh framing dan agenda setting (dan motif), sebagai user tentu saja kita harus bijak dan tidak mudah baperan. Kita harus paham bagaimana tujuan konten itu dibuat. Karena siapa tahu, tujuannya memang untuk membuat kamu baper. Kalau kamu jadi baper beneran, berarti berhasil deh si pembuat konten.
Terlebih jika menemukan konten yang menimbulkan kemarahan. Pastikan cek dan ricek untuk memutuskan bahwa konten tersebut apakah fakta atau hoax yang memprovokasi. Istilah saring before sharing saya rasa tepat di sini. Dan kita harus tegas menentukan kapan keep playing or stop, agar social media tidak mengganggu kehidupan kita di dunia nyata.
Ajakan untuk bijak ber sosial media ini juga saya utarakan kemarin saat menjadi pembicara di acara Archetype 2018 Psikologi Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tema yang saya angkat mengenal Heal-Net : How to be a Good Netizen. Di acara tersebut saya membedah unsur-unsur komunikasi yakni komunikator, pesan, komunikan, saluran media dan efek. Saya berharap sebagai netizen kita kritis terhadap berbagai pesan informasi di internet. Juga sebagai content creator, kita dapat menghasilkan informasi yang benar bagi audience atau masyarakat.
Oiya, saya jadi tertarik untuk tahu, apakah social media juga mempengaruhi hidupmu di dunia nyata?
Cerita di kolom komentar yuk...
Wah aku sampai lupa ada teori framing, yang ternyata sedang terjadi terutama di dunia social media influencer yakk... Sungguh pembahasan yang sangat menarik mbaa... dan setuju banget kita harus bisa saring sebelum sharing. :D
ReplyDeleteSosial media itu memang punya 2 sisi ya. Jangan sampai karena medsos diklaim menjadi bermasalah
ReplyDeleteMedsos memengaruhi kehidupan nyata tatkala ketemu dengan kawan bloger, "eh Fenni, Fenni bungsu kan ya yang kita sering BW-BW an" 👉 seringnya gitu kak 😄😂
ReplyDeleteBener banget. Berinternet apalagi bermedia sosial kudu pinter. Seringkali kita terjebak framing. Untuk orang dewasa sih aku percaya. Untuk anak2 dan remaja nih yang nakutin. Salah2, mereka bisa terbawa arus. Kudu banyak perhatian dari keluarga. PR besar buat aku sebagai ortu yang punya anak remaja.
ReplyDeletemedsos ini nih, emang ada sisi baik dan buruknya ya.. saya baru tau kalau ada teori farming ini..
ReplyDeleteBuat aku sosmed itu harus dikuasai jangan sebaliknya menguasai. Banyak yang tanpa sadar sudah "merampas" hidup seseorang. Miris kan kalau dampaknya ke kesehatan jiwa.
ReplyDeleteKalau buat saya sih ga terbawa arus atau terkecoh framing insya Allah, yg saya khawatirkan anak terutama yg lg di LN rada susah mantau n mendampinginya...
ReplyDeleteDibilang mempengaruhi, ga terlalu sbnernya.. Krn walo bagaimana, aku ga pgn sampe kecanduan dengan sosmed mba. Ga pengen smua informasi yg ada di sana malah aku telan mentah2, ato malah mempengaruhi cara berfikir ku dan menganggab sesuatu yg ada di sosmed sudah pasti benar, No.
ReplyDeleteAku jg ga pgn mood ku jd rusak kalo membaca hal2 yg bersifat menyebar kebencian yg skr lg banyak di medsos manapun.
Buatku sosmed itu hanya hiburan, wadah buatku sharing ttg hobiku, dan hanya pgn memfollow hal2 yg bersifat positiv. Yg ga bikin stress kalo dibaca :p.
Aku ga kecanduan medsos tapi pernah merasakan kalau hidupku ini nggak ada apa-apanya dibanding teman-teman semasa sekolah.. Jadi ga bersyukur gitu mba.. Sekarang alhamdulillah udah bisa rem hehe
ReplyDeleteBenar Mba, menggunakan sosial media berlebihan bikin hidup nggak nyaman, saya juga merasakan itu.
ReplyDeletedan saya baru tahu klo instagram yang paling tinggi efek negatifnya terhadap kesehatan mental remaja. Seram juga ya! :(
Nah, teori framing ini mbak. Sepertinya saya kemakan framing dan nyaris adiksi Instagram. Walaupun sudah seleksi info yang akan dikonsumsi, tetap aja. Instagram stories dan timeline-nya sangat menyita waktu, sampai lupa :')
ReplyDeleteSetuju banget bermain di dalam dunia ini yg penting jangan baper , tp susah ya hehe yg penting hrs saling mengingatkan aja
ReplyDeleteSelama bertahun-tahun main medsos, Alhamdulillah saya masih bisa ngontrol apa yang ingin saya lihat juga apa yang ingin saya bagikan kepada teman-teman medsos 😁
ReplyDeletesesuai dengan video awkarin yang aku pernah lihat bahwa social media pun bisa memberikan pengaruh buruk sama mental dan kesehatan jiwa, harus bisa di kontrol dan mempergunakan media dengan sebaik mungkin, jangans sampai kita dikuasai oleh media.
ReplyDelete