Kedua lengannya sibuk menyiapkan gelas plastik. Lengan itu pula terlihat gesit mengambil beberapa biji kopi, menuangkan air, hingga menambahkan susu kental manis pada kopi yang hampir siap disajikan.
Lengan itu terlihat kuat. Hanya bahasa tubuh pemiliknya yang terlihat sedikit canggung. Mungkin karena keberadaan kami di depannya yang sibuk mengambil gambar. Juga beberapa pembeli yang terlihat tidak sabar. Cuaca siang itu panas menyengat. Ingin rasanya duduk bersantai menikmati segelas es kopi.
Saya mengenalnya dengan nama Mas Eko Sugeng, sosok pemilik lengan yang kokoh itu. Lengan yang menopang hidupnya untuk bisa berkarya sebagai peracik kopi. Mas Eko, begitu biasa dia disapa, adalah peserta dari program Barista Inklusi. Barista Inklusi adalah program kerja sama Program Peduli, Pusat Rehabilitasi Yakkum Yogyakarta dan Stara Coffee yang memberikan pelatihan kepada rekan difabel untuk menjadi barista profesional.
Para peserta pelatihan belajar mulai dari hal dasar, seperti mengenal berbagi jenis kopi, mengoperasikan berbagai peralatan, hingga pratik membuat bermacam-macam kopi yang nikmat. Pengetahuan mengenai manajemen perencanaan bisnis, dan aktivitas promosi melalui media sosial juga peserta pelatihan dapatkan.
Para peserta pelatihan belajar mulai dari hal dasar, seperti mengenal berbagi jenis kopi, mengoperasikan berbagai peralatan, hingga pratik membuat bermacam-macam kopi yang nikmat. Pengetahuan mengenai manajemen perencanaan bisnis, dan aktivitas promosi melalui media sosial juga peserta pelatihan dapatkan.
Eko Sugeng bersama rekan di booth Barista Inklusif |
Baca Juga : Karena Kopi Kita Setara
Saya sudah pernah bertemu dengan Mas Eko sebelumnya, namun baru kali ini saya menyaksikan langsung caranya meracik kopi. Prasangka dengan kamampuannya tentu saja ada. Namun, beliau bisa membuktikan bahwa meski kedua tangannya tidak utuh, semangat yang menunjukkan bahwa dia bisa.
Kecelakaan yang terjadi di masa lalu, memang membuat kedua tangan Mas Eko diamputasi. Sejak saat itu pulalah, ia hidup menjadi bagian kaum difabel. Yang "masih" menjadi kelompok marginal di Indonesia. Yang pada mereka disematkan berbagi label keterbatasan.
Manusia Itu Ekuilibrium
Mungkin saya, juga masyarakat Indonesia pada umumnya lupa, bahwa Bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang dalam hidup berdampingan dengan para difabel. Herman Sinung Janutama, seorang pemerhati budaya mengisahkan pada saya pada acara Lokakarya Agama, Budaya dan Difabel di desa Plembutan, Playen, Gunung Kidul, Yogyakarta, 24 Oktober 2018. Bahwa Keraton Kartasura, kerajaan turunan Mataram pernah diperintah oleh seorang difabel bergelar Amangkurat III.
KH. Imam Aziz dan Herman Sinung Janutama dalam Lokakarya Tematik Temu Inklusi 2018 |
Mas Herman yang juga penulis buku Polowijan, buku tentang difabel dalam perspektif budaya ini juga menyebutkan bahwa dalam pewayangan Jawa banyak tokoh pewayangan yang dilukiskan sebagai sosok difabel namun memiliki pengaruh yang kuat dalam tatanan masyarakat.
Sebut saja Punakawan. Punakawan sejatinya adalah dewa yang turun ke bumi untuk menjadi manusia yang bertugas menjadi abdi para kesatria. Mereka terdiri dari Semar yang memiliki tiga orang putra bernama Gareng, Petruk dan Bagong. Keempatnya memiliki keterbatasan dari segi fisik. Gareng misalnya, yang memiliki cacat tangan, kaki pincang dan mata juling. Juga Petruk yang memiliki hidung, telinga, mulut, kaki, dan tangan yang lebih panjang dari ukuran normal.
Meski memiliki kekurangan fisik, Punakawan adalah penasihat para ksatria, penghibur, kritis terhadap isu sosial dan sumber kebenaran dan kebijakan. Terlebih pada sosok Semar yang bijaksana dan selalu mencari kebenaran terhadap segala masalah. Petuahnya selalu didengar, bahkan oleh para dewa.
Mendengar apa yang dijelaskan Mas Herman, saya menjadi paham bahwa sejatinya bangsa kita dibangun atas kesadaran terhadap penghargaan pada umat manusia, bagaimanapun wujud fisiknya. Suatu hal yang memalukan jika kemudian kita yang dianggap normal "secara fisik" menjadi merasa ekslusif dibandingkan orang lain yang memiliki keterbatasan fisik.
Saya sampai merinding ketika Mas Herman menjelaskan bahwa kesadaran masyarakat dunia akan persamaan hak difabel baru terjadi setelah era perang dunia kedua sekitar tahun 1972. Dulu, di Eropa bahkan, mereka yang terlahir cacat dianggap sebagai produk gagal evolusi, yang kemudian dibunuh karena dianggap tidak berguna.
Hal ini tentu berlawanan dengan konsep manusia pada budaya Jawa. Bahwa manusia itu ekuilibrium (asas kesetimbangan). Jika disatu sisi memiliki kekurangan, maka di sisi yang lain dia akan memiliki kelebihan yang sulit disaingi oleh orang lain. Kita perhatikan saja para tuna netra, biasanya memiliki kepekaan yang tinggi di indra pendengarannya.
Jika disatu sisi memiliki kekurangan, maka di sisi yang lain dia akan memiliki kelebihan yang sulit disaingi oleh orang lain
Baca Juga : Merawat Keberagaman, Merawat Indonesia
Kita Semua Menjadi Disabel Pada Saatnya Nanti
KH. Imam Aziz |
Jadi untuk apa mengolok-olok orang lain, jika pada akhirnya kita akan mengalami hal yang sama?
KH. Imam Aziz, Ketua PBNU yang juga hadir sebagai pembicara di Lokakarya Agama, Budaya dan Difabel di Temu Inklusi 2018, berhasil mengetuk hati saya saat mengatakan "akan tiba waktunya kita semua menjadi disabel. Entah karena kecelakan, atau karena usia yang menua."
Ajaran berbuat baik dengan sesama manusia juga telah ditegaskan dalam AlQur'an pada surat al-Hujarat ayat 11, yang berbunyi “Wahai orang-orang yang beriman!, janganlah suatu kaum mengolok-ngolok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka yang diolok-olokkan lebih baik dari mereka yang mengolok-ngolok, dan jangan pula perempuan-perempuan mengolok-ngolokkan perempuan lain, karena boleh jadi perempuan yang diolok-olokkan lebih baik dari perempuan yang mengolok-ngolok. Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk”.
Tuhan tidak melihat manusia berdasarkan cantik dan tampan wajahnya, namun dari derajat ketaqwaan yang dimiliki. Hal ini tentu semakin memperjelas bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama untuk hidup setara dalam kehidupan bermasyarakat. Termasuk dalam menikmati berbagai fasilitas beribadah, kesehatan, pendidikan, transportasi juga dalam mencari lapangan pekerjaan.
Maka, ketika masih banyak masyarakat marginal yang terdiskriminasi, tentu menjadi tugas kita untuk bersama- sama mempromosikan terwujudnya inklusi sosial dalam masyarakat.
Masyarakat inklusif itu yang seperti apa?
Yakni, masyarakat yang mampu menerima berbagai bentuk keberagaman dan perbedaan serta mengakomodasinya ke dalam berbagai tatanan maupun infra struktur yang ada di masyarakat. Bentuk perbedaan dan keberagaman antara lain seperti keberagaman budaya, bahasa, gender, ras, suku bangsa, strata ekonomi, serta termasuk juga didalamnya adalah perbedaan kemampuan fisik/ mental atau difabilitas.
Jadi, siapkah kita menjadi bagian masyarakat Indonesia influsif?
* Temu Inklusi (TI) 2018 merupakan agenda lanjutan dari kegiatan dua tahunan yang diinisiasi Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia. Temu Inklusi merupakan
wadah terbuka yang mempertemukan berbagai pihak pegiat inklusi Difabel.
Aku siap jadi Masyarakat inklusif mba.
ReplyDeleteyang mau menerima keberagaman dan tidak membeda-bedakan.
Karena Allah menciptakan kita semua sama, dengan kasih sayang-Nya
terima kasih..semoga semangat ini menular ke lebih banyak orang
Deleteternyata punakawan itu difabel ya, baru tahu lho. dulu waktu masih kecil sering lihat glatak glitik campursari, kalau ga salah punakwan sering muncul di sana
ReplyDeletewah..campursari ya..ada punakawannya juga? menarik ini
DeleteSubhanallah, salut saya sama kegigihan Mas Eko. Pantang menyerah, Di tengah keterbatasannya ia bisa membuktikan beraktifitas layaknya orang lain.
ReplyDeleteiya mbak..keterbatasan fisik tidak jadi halangan
DeleteSIGAB Indonesia ini sungguh luar biasa ya kak
ReplyDelete--bukanbocahbiasa(dot)com--
semoga banyak event jenis ya..
DeleteSalut dengan semangat para disabel , harus siap laaa biar bagaimana mereka bagian dr masyarakat kita dan ada d lingkungan kita
ReplyDeletekita juga harus memiliki semangat untuk menghargai keberagaman juga ya
DeleteYa Allah, ngeri dengan perlakuan bagi kaum difabel zaman dulu. Padahal tiap orang punya hak sama untuk hidup dan pasti punya kelebihan di sisi lain.
ReplyDeletemerinding mbak kalau denger kisahnya..ada yang dimasukin ke ruang gas hingga mati lemas juga..Padahal kita ini siapa, semua yang menciptakan sama
DeleteBenar juga ya, pada waktunya suatu hari nanti manusia secara utuh fisik bisa jadi difabel. Makanya patut kita saling menghargai bagi mereka yg difabel seja lahir atau karena kecelakaan.
ReplyDeletesemabai pengingat bahwa ada saatnya kita juga gak bisa apa2..apalagi ketika kondisi menua
Delete