Sebagai ibu yang memiliki seorang anak balita, ke manakah saya harus mengajak anak bermain? Lagi-lagi mall masih menjadi pilihan. Menghabiskan uang puluhan ribu ke area permainan seperti timezone, kidz fun, happy time dan sebagainya. Bukan lantaran suka berfoya-foya, tapi di mana lagi anak saya bisa bebas berlarian. Harus ke mana agar kami tidak mencium asap rokok? Atau di mana area bermain anak yang bisa kami jangkau?
Saya tinggal di pinggiran Sukoharjo yang berbatasan dengan Solo. Kalau orang bilang, kawasan ini adalah kawasan satelit dengan mall-mall dan gedung menjulang tinggi. Tapi tidak satupun saya temukan sebuah taman bermain anak. Saya harus lari ke Balekambang Solo atau ke Taman Pakujoyo Sukoharjo jika anak ingin bermain ayunan atau jungkat-jungkit.
Mau bagaimana lagi, memang tidak tersedia ruang publik yang ramah bagi anak kami.
Defini dan Tipologi Ruang Public : Berdasarkan pelingkupannya (Carmona, et al : 2003, p.111), ruang publik dapat dibagi menjadi beberapa tipologi antara lain : 1) External public space. Ruang publik jenis ini biasanya berbentuk ruang luar yang dapat diakses oleh semua orang (publik) seperti taman kota, alun-alun, jalur pejalan kaki, dan lain sebagainya. 2) Internal public space. Ruang publik jenis ini berupa fasilitas umum yang dikelola pemerintah dandapat diakses oleh warga secara bebas tanpa ada batasan tertentu, seperti kantor pos, kantor polisi, rumah sakit dan pusat pelayanan warga lainnya. 3) External and internal “quasi” public space. Ruang publik jenis ini berupa fasilitas umum yang biasanya dikelola oleh sektor privat dan ada batasan atau aturan yang harus dipatuhi warga,seperti mall, diskotik, restoran dan lain sebagainya.
Mengenal Apa itu Ruang Public atau Public Space
Sabtu, 26 Januari 2019 saya mengikuti sebuah acara bertajuk Inclusive Space Workshop. Kegiatan ini diinisiasi oleh SSEAYP International Indonesia (SII), melalui SIAGA (SSEAYP Indonesia Alumni Grant Activity), bersama Bandung Disaster Study Group (BDSG), Jogja SDGs Community, Pusat Studi Jepang Universitas Sebelas Maret (PSJ UNS), Pusat Studi Difabilitas Universitas Sebelas Maret (PSD UNS), Purna Caraka Muda Indonesia (PCMI) Jawa Tengah dan Yogyakarta, Kota Kita Foundation, dan rekan-rekan sukarelawan yang tergabung dalam Komunitas Inclusive Space.
Meskipun tidak bisa mengikuti acara ini selama dua hari, senang rasanya bisa berinteraksi dengan berbagai kalangan, termasuk diantaranya rekan-rekan difabel. Kami para peserta mendapatkan wawasan bagaimana seharusnya ruang publik atau public space tercipta agar dapat diakses siapa saja. Sehingga setiap orang mendapatkan haknya. Kami yang hadir seolah disadarkan, bahwa, banyak kalangan yang ternyata mendapatkan diskriminasi dalam pemanfaatan ruang publik seperti mereka para difabel, lansia dan juga anak-anak.
Coba kita melihat lebih jelas.
Sering kali kita temui ruang-ruang publik yang belum ramah bagi rekan difabel. Ambil contoh pedestrian di salah satu jalan protokol di Sukoharjo. Guiding block yang terpasang justru mengarahkan rekan tuna netra pada pohon atau tiang listrik.
Paulista Surjadi dan Fuad Jamil dari Yayasan Kota Kita yang menjadi narasumber dalam Inclusive Space Workshop kemarin menceritakan, mereka yang tuna netra sering kali lebih memilih berjalan di antara rel kereta api. Karena dengan bantuan rel kereta itu, justru mereka tidak akan nyasar dan tidak akan berjalan ke tengah jalan.
Guiding Block / Jalur Pemandu adalah jalur yang memandu penyandang disabilitas untuk berjalan dengan memanfaatkan tekstur ubin pengarah dan ubin peringatan.
Gambar : sorotsukoharjo - Guiding Block mengarahkan pada sebuah pohon |
Belum lagi ketika kita melihat berbagai perkantoran atau tempat ibadah. Masih sedikit sarana prasarana yang membantu rekan difabel untuk beraktivitas. Sekali lagi ini bukan bentuk memanjakan atau mengistimewakan, namun kembali lagi pada konsep ruang publik yang aksesibel untuk semua orang.
Ketika semua warga negara berhak mendapatkan kenyamanan dan keamanan dalam semua lini kehidupannya, mengapa kaum difabel masih mendapat diskriminasi?
Ruang Publik Bagi Difabel
Semangat kesetaraan sering kali digaungkan oleh banyak pihak. Pada dasarkan setiap orang itu berhak mendapat perlakukan yang sama. Jika berbicara mengenai disabilitas, bukankah pada akhirnya semua orang akan disabel juga? Entah itu karena penyakit, kecelakan atau karena usia yang menua.
Baca Juga : Barista Inklusif, Karena Kopi Kita Setara
Lalu untuk apa kita yang saat ini diberikan kemampuan untuk beraktivitas lebih mudah (baca: normal) merasa jumawa dan tidak berempati? Dr. Ir. Wiwik Setyaningsih, M.T dari UNS memaparkan tentang Universal Design pada Inclusive Space Workshop yang lalu. Beliau menjelaskan bagaimana mewujudkan ruang publik yang bebas hambatan bagi seluruh masyarakat termasuk difabel. Hal ini juga tertuang pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.30/PRT/2006, tanggal 1 Desember 2006, yang mengharuskan bahwa ruang-ruang publik harus bisa memberikan akses yang baik bagi setiap warga negara.
Kesadaran akan pentingnya aksesbilitas bagi siapa saja dapat diawali dengan inovasi pada metode perencanaan dan desain ruang atau fasilitas publik. Pada proses perencanaan, para pemangku kebijakan dan pelaksana program pembangunan sebaiknya dan seharusnya melakukan riset dan eksperimen mendalam terhadap setiap bangunan atau prasarana yang akan dibangun. Apakah sudah sesuai dengan pedoman aksesbilitas atau belum. Apakah ruang publik aman dan ramah untuk semua orang atau belum.
Bagaimana kemudian kita turut berkontribusi?
Selanjutnya, sebagai bagian dari masyarakat kita pun bertanggungjawab merawat berbagai ruang publik tersebut. Memanfaatkan sesuai dengan fungsi gunanya.
Baca Juga : Memaknai Ekuilibrium Manusia, Selalu Ada Kelebihan di Balik Kekurangan
Tidak kalah penting, perlu ditumbuhkan kesadaran dari dalam diri akan semangat inklusivitas yakni pengakuan, penghargaan atas eksistensi/keberadaan serta penghargaan dan penghormatan atas keberbedaan dan keberagaman. Sehingga terciptalah masyarakat inklusif yang mampu menerima berbagai bentuk keberagaman dan perbedaan serta mengakomodasinya ke dalam berbagai tatanan maupun infra struktur yang ada di masyarakat. Keberagamanan disini seperti budaya, bahasa, gender, ras, suku bangsa, strata ekonomi, serta termasuk juga didalamnya adalah perbedaan kemampuan fisik/mental yang disebut dengan difabilitas.
Jika tersedia ruang publik nyaman dan aman bagi semua orang, maka bukan tidak mungkin akan tercipta ruang publik (public sphere) yang nirsekat. Di mana masyarakat dapat berinteraksi dan dengan bebas mengemukakan pendapat sehingga memungkinkan terjadinya transformasi sosial dalam proses yang demokratis.
Baru tahu tuh yang kayak dalam gambar. Kalau di jalan2 protokol di Jakarta dengan pedistriannya yang luas ada juga jalur buat teman2 disabilitas dengan garis ubin yang timbul.
ReplyDeleteBanyak banget malah mbak. Pemasangan guiding block yg kurang tepat begitu. Mungkin kita yg normal kurang memperhatikan karena bukan sebagai pengguna
DeleteAlhamdulillah saya tinggal di kampung yang ramah ruang publik bagi anak-anak tapi memang untuk disfabel belum disediakan, karena memang ini di kampung kali ya
ReplyDeleteAsyik sekali kalau ada taman2 terbuka hijau atau area yang ramah anak
DeleteSaya juga baru mengetahui pentingnya ruang publik baru beberapa tahun silam, ruang publik sangat penting dan memiliki banyak manfaat, maka sekarang ini banyak mulai bermunculan ruang publik dan semakin memfasilitasi kaum difabel, karena mereka juga berhak mendapatkan fasilitas yang sama dengan masyarakat normal
ReplyDeleteIya kadang kita sebagai pemakai hanya merasa itu seperti bangunan pada umumnya. Padahal sebenarnya ruang publik punya fungsi dalam kehidupan bermasyarakat dan sosial
DeleteSemoga fasilitas umum semakin lebih baik lagi. Siapapun berhak untuk menggunakannya...
ReplyDelete