Virtual Education - Online-based education : A form of education which is outside the classroom or partially outside the classroom that is based on taking advantage of the telematic potential of the Internet to carry out formal or other types of education, by means of learning activities supported by virtual learning environments
Himbauan bekerja, belajar dan beribadah di rumah akibat Covid-19, akhirnya menjadi kepastian bahwa pembelajaran tatap muka ditiadakan demi kebaikan bersama. Tentu saja, para pengajar dibuat pusing tujuh keliling. Menggunakan sistem kebut semalam, para pengajar baik itu guru maupun dosen, belajar berbagai platform pembelajaran daring.
Beberapa metode belajar online mulai diuji coba. Mulai dari membuat konten dan di upload di youtube, diskusi via WhatsApp, mengisi presensi via Google Form, sampai melakukan pembelajaran interaktif via Zoom/ Google Meet yang berhasil menyedot banyak kuota.
Bayangkan, ini tidak terjadi di satu mata pelajaran/ mata kuliah saja. Tapi semua. Para orang tua di rumah langsung berubah jadi guru, harus melek digital, sampai sedia budget khusus untuk beli pulsa khusus buat sekolah online.
Juni 2020, pemerintah mulai mengenalkan konsep New Normal. Pekerja mulai masuk kantor, meski protokol kesehatan diterapkan secara ketat. Namun, kegiatan belajar mengajar di sekolah dan kampus belum bisa dilaksanakan, meski lokasi sekolah berada di zona hijau. Skenario ini (mungkin saja) sampai akhir tahun 2020.
Baca Juga : Apa itu New Normal
Mau tidak mau, suka dan tidak suka, pembelajaran berbasis online harus berlanjut. Entah bagaimana ribetnya proses penerimaan siswa baru yang terjadi di sekolah, tapi para pengajar jelas harus menyingsingkan lengan lebih tinggi untuk bekerja keras.
Virtual Teacher for Virtual Learning
Virtual education memaksa hadirnya virtual teacher agar siap membuat virtual classroom untuk melaksanakan virtual learning. Sebuah konsep baru yang sudah diterapkan beberapa bulan terakhir.
Apakah virtual teacher sudah siap? Harus siap.
Perilaku baru dalam melakukan pembelajaran online harus segera dipahami oleh pengajar dan sekolah/ kampus. Ketika pengajar sebagai komunikator utama serta sekolah sebagai pihak yang menyiapkan infrastruktur sudah siap, maka proses virtual learning ini dapat diterapkan dengan baik. Adaptasi harus dilakukan untuk bisa menghasilkan pembelajaran yang efektif.
Lantas, apa yang perlu dilakukan guru dan sekolah dalam menyiapkan Virtual Learning yang efektif
1. Penggunaan Online Learning Platform
Dalam proses komunikasi, media menjadi salah satu faktor penentu dalam keberhasilan komunikasi. Sebelum melakukan pembelajaran online, maka guru sebaiknya memilih media apa yang akan digunakan. Katakan guru memilih menggunakan Zoom, maka baik guru maupun siswa harus paham betul bagaimana mengoperasikannya.
Seperti misalnya :
Bagaimana membuat akun di Zoom?
Bagaimana bergabung dengan meeting room?
Bagaimana mengaktifkan dan menonaktifkan microphone dan video di Zoom?
Bagimana menyajikan slide presentasi?
Bagaimana menggunakan fitur chat?
Ketika pengajar dan siswa sudah paham dalam penggunaan media, maka gangguan dalam komunikasi akan dapat diatasi atau diminimalisasi.
Begitu pula jika guru memilih menggunakan media sosial berbagi video seperti Youtube untuk mengunggah kontennya. Maka, guru sebaiknya menyediakan channel khusus dan mengkategorisasikan materinya dalam bentuk playlist.
Ada pula sebuah platform jejaring sosial yang memungkinkan penggunanya untuk berbagi materi, tugas dan melakukan diskusi secara rapi dan terorganisasi seperti Google Classroom dan Schoology.
Jika pada akhirnya hanya menggunakan aplikasi WhatsApp/ Line untuk berbagi materi dan diskusi, itu juga tidak masalah. Asalkan sistem belajar diatur dengan rapi. Seperti kapan jadwal belajar, kapan mengumpulkan tugas serta aturan mengobrol di grup di luar jam- jam belajar agar suasana tetap kondusif.
2. Perilaku Pengajar dan Siswa di Virtual Classroom
Beberapa guru mungkin akan memilih untuk melakukan pembelajaran online interaktif (real time) dengan platform penyedia video conference seperti Zoom, Webex dan Google Meet.
Platform ini tentu saja memiliki banyak keterbatasan. Maka baik guru dan siswa juga patut memahami bagaimana behaviour/ perilaku pengajar dan siswanya di platform tersebut.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses belajar menggunakan video conference ini :
1. Pastikan untuk mengisi kuota internet sebelum melakukan kegiatan belajar.
2. Memahami bahwa pengguna tidak dapat 100% bisa mengandalkan kemampuan sinyal provider komunikasi. Maka gangguan komunikasi seperti sinyal terputus, delay, akan wajar terjadi dalam proses pembelajaran.
3. Menyiapkan backup system.
Tidak bisa dipungkiri bahwa alat komunikasi (laptop dan handphone) juga jaringan komunikasi menjadi faktor terpenting dalam proses pembelajaran online. Maka, tidak ada salahnya baik pengajar maupun siswa menyiapkan back system, jika sewaktu- waktu alat/ koneksi utama yang digunakan dalam proses belajar mengalami gangguan.
Pengajar jyga dapat mengunggah materinya di penyimpanan online seperti Google Drive, DrpBox, dll yang bisa diakses sewaktu- waktu.
Pengajar jyga dapat mengunggah materinya di penyimpanan online seperti Google Drive, DrpBox, dll yang bisa diakses sewaktu- waktu.
4. Kemampuan konsentrasi seseorang dalam menyimak materi audio visual sangat terbatas.
Rata- rata seseorang dapat fokus berkonsentrasi pada sebuah konten audio visual maupun penjelasan naratif audio visual yang disampaikan seorang guru terbatas pada durasi 10- 15 menit.
5. Adanya "zoom fatigue" yang harus diantisipasi.
Istilah slang ini mengacu pada kondisi kelelahan yang dialami seseorang ketika terlalu lama melakukan video conference.
Baik pengajar maupun sisiwa dapat mengambil waktu jeda beberapa menit, ketika sudah dilanda kelelahan ketika lama menatap layar laptop/ handphone milik mereka.
Selengkapnya : Apa itu Zoom Fatigue dan Cara Mengatasinya
3. Pembuatan Konten yang Menarik dan Interaktif
PR selanjutnya bagi para pengajar adalah bagaimana membuat konten yang efektif untuk media belajar siswanya. Saat ini sudah banyak aplikasi pendukung yang bisa digunakan untuk membuat video audio visual dengan mudah. Tidak melulu harus menampilkan wajah pengajar, tapi kita bisa cukup menyediakan slide power point, dan tinggal mengisi suaranya (voice over).
Beberapa handphone sudah disematkan fitur bawaan seperti screenrecorder. Kalaupun tidak ada, kita bisa mengunduhnya dengan gratis di Playstore, atau menggunakan software seperti OBS (Open Broadcaster Software) atau Camtasia jika ingin membuat video bermodalnya slide presentasi di laptop/ PC.
Jika kemudian pengajar memilih menggunakan model pembelajaran interaktif dengan video conference, maka perlu dibuat sebuah rundown dalam setiap sesi belajar. Kapan harus memaparkan materi, kapan melakukan diskusi, kapan kuis, dan kapan harus jeda istirahat. Semua ini dilakukan agar proses belajar online lebih dinamis.
Akhirnya, saya bisa mengatakan bahwa menjadi pengajar virtual tidak mudah. Namun, inilah masa depan. Tidak ada yang menjamin bahwa model ini tidak diadaptasi secara keberlanjutan. Mengingat baik guru maupun murid juga merasakan efisiensi dan fleksibilitas dalam aktivitas belajar.
Selanjutnya adalah bagaimana kemudian mengevaluasi apakah model belajar ini terbukti efektif mengubah kemampuan kognitif, afektif, maupun psikomotorik siswa belajar.
***
Rabu, 24 Juni 2020 saya menjadi pembicara dalam sebuah webinar berjudul "Public Speaking for Teacher" yang diadakan oleh SMP Muhammadiyah Program Khusus Kota Barat Surakarta. Saya mengapresiasi semangat para guru dan SMP Muhammadiyah Program Khusus dalam mempersiapkan pembelajaran daring yang efektif bagi siswa- siswi mereka. Karena pada akhirnya, mereka yang memiliki semangat belajar, dan adaptif terhadap perubahan, merekalah yang akan menang menghadapi tantangan. Sukses selalu!
Post Comment
Post a Comment
You made it all the way here! Thanks for reading. :)
(Untuk meninggalkan komentar, sebaiknya jangan memilih Anonymous agar tidak menjadi brokenlink dan saya hapus.
Tulis saja nama dan url Google/facebook biar lebih aman)