2017, usai menyelesaikan tesis dan dinyatakan lulus, saya mulai resah. Bukan karena bingung memanfaatkan gelar baru di ijazah. Bukan. Tapi, saat itu saya ingin mencoba bidang pekerjaan yang lebih menantang.
Saya mulai tergoda untuk mencoba hal baru. Sesuatu yang dirasa menyenangkan, tapi juga menghasilkan cuan. Mulailah saya belajar monetisasi instagram dan blog.
Setelah bergabung dengan komunitas blog, kesempatan bekerja sama dengan brand terbuka lebar. Kerja sama berupa content placement, sponsored post dan endorsement mulai berdatangan. Social media yang semula hanya sebagai dokumentasi aktivitas harian, akhirnya menjadi media untuk berkreasi. Semakin produktif, semakin banyak penghasilan.
Senang, tentu saja.
Tapi ada satu hal yang tidak saya sadari.
Kegiatan bermedsos sedikit banyak mengubah mentalitas. Yang awalnya merasa senang hati mencoba hal baru, berubah menjadi obsesi pada numbers. They are about like, comment, follower, impression dan istilah statistik lainnya.
Sejujurnya hal ini melelahkan. Setahun saya struggle dengan hal ini. Kesehatan mental mulai terganggung. Jumlah like menjadi dopamin yang membuat level kebahagiaan naik turun. Semakin banyak, semakin gembira. Sayangnya ini fana. Ketika tidak mencapai apa yang diharapkan, akhirnya merasa sia- sia dan tidak berguna.
Ini tidak mudah. Saya jadi banyak merenung, introspeksi diri.
Sekarang Insya allah sudah waras. I really don't care. Mau dapet like banyak silakan, nggak ya uwis.
Sudah sampai di fase menggunakan sosmed dengan kesadaran penuh, istilah kerennya mindfulness. Saya lebih sehat, dan happy. Lebih punya tujuan.
Berpikir Kritis, Menggunakankan Nalar Sehat dan Obyektif
Apa yang saya alami adalah sebagian kecil dari fenomena terpaan media sosial yang berhasil mengubah perilaku manusia. Apa yang dihadapi orang lain bisa jauh lebih berat dan buruk.
Lihat saja, beberapa artis Korea yang mengakhiri hidupnya karena cyber bullying yang ia terima. Puluhan kasus pidana, akibat kesalahan dalam memposting sesuatu yang merugikan pihak lain di media sosial. Parahnya, banyaknya produksi hoaks yang mendekatkan pada devide et impera. Masyarakat terpolarisasi, yang hingga kini masih susah disatukan. Semua bisa terjadi karena internet, social media salah satunya.
Bak pisau bermata ganda, ada nilai positif ada pula sisi membawa malapetaka. Teknologi tidak salah toh, hanya manusianya saja yang perlu pake logika.
Jika belajar dalam ilmu komunikasi (jurnalistik) sebenarnya kita bisa melihat bahwa informasi di internet tidak sepenuhnya fakta. Justru kini, banyak informasi yang diputar balikkan, fakta yang dikaburkan, infromasi salah yang membuat mispersepsi. Kita mengenalnya sebagai hoaks atau hoax.
Hoaks dapat berwujud dalam 3 jenis informasi :
- Misinformasi : Informasinya salah, tapi orang yang menyebarkannya percaya bahwa informasi itu benar. Penyebaran informasi dilakukan TANPA ada tendensi untuk merugikan orang lain.
- Disinformasi : Informasi yang tidak benar dan orang yang menyebarkannya juga tahu jika informasi itu tidak benar. Informasi ini merupakan kebohongan yang sengaja disebarkan untuk menipu, mengancam, bahkan membahayakan pihak lain.
- Malinformasi : Informasinya sebetulnya benar. Sayangnya, informasi itu digunakan untuk mengancam keberadaan seseorang atau sekelompok orang dengan identitas tertentu. Malinformasi bisa dikategorikan ke dalam hasutan kebencian.
Data Kemenkominfo menyebutkan bahwa ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang telah terindikasi sebagai penyebar hoaks. Ini adalah bukti bahwa internet telah salah dimanfaatkan oknum tertentu untuk keuntungan pribadi dan kelompoknya dengan cara menyebarkan konten-konten negatif yang menimbulkan keresahan dan saling mencurigai di masyarakat.
Apakah mereka yang berpendidikan tinggi lantas bisa terhindar dari hoaks?
Tentu saja tidak.
Semua tergantung seberapa peduli kita menggunakan nalar kritis. Mau bersusah payah melakukan verifikasi atau pengecekan terhadap informasi. Berani untuk skeptis, bahwa informasi bisa saja benar bisa juga salah dan tidak mentah- mentah menyebar luaskan informasi yang diterima.
Jangan main- main dengan hoaks. Peperangan antar negara bisa terjadi akibat informasi palsu.Ingat invasi Amerika Serikat ke Irak, yang "katanya ada senjata biologis pemusnah masal"?
Sampai detik ini hal tersebut tidak terbukti. Isapan jempol belaka. Tapi berapa nyawa sudah melayang? Berapa puluh gedung runtuh? Barapa banyak anak kehilangan orang tuanya? Ini semua karena hoaks. Selengkapnya : https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/hoaks-senjata-pemusnah-massal-lahirkan-invasi-as-ke-irak-cGq6
Tular Nalar, Menularkan Berpikir Kritis
Netizen yang budiman nan cinta damai, sudah selayaknya mampu menilai sebuah informasi, yang nantinya lebih bijak dalam mengambil sebuah tindakan. Setelah memahami bahwa bermedia sosial perlu tujuan yang positif, etis dan kreatif, saya bisa lebih bahagia tanpa kehilangan passion dalam berkarya di dunia digital as a digital content creator.
Berpikir kritis dimulai dari diri sendiri. Berpikir kritis diartikan sebagai proses dan kemampuan yang digunakan untuk memahami konsep, menerapkan, mensintesis dan mengevaluasi informasi yang diperoleh atau informasi yang dihasilkan. Dengan menggunakan nalar kritis kita bisa melihat masalah dari berbagai sudut pandang. Keputusan yang diambil lebih adil dan bisa dipertanggungjawabkan.
Maka, untuk menularkan semangat berpikir kritis, hadirlah program Tular Nalar. Sebuah program inisiatif Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), Love Frankie dan Ma'arif Institute yang didukung oleh Google. org.
Dipilih menjadi fasilitator Tular Nalar, saya berkesempatan untuk mentransfer semangat Tular Nalar ini kepada para dosen dari Universitas Muhammadiyah Gorontalo dan Mataram pada 23 November 2020 lalu. Setelah sebelumnya, saya mengikuti Training of Trainer bersama 39 dosen lainnya dari berbagai kampus di Indonesia.
Pelatihan daring bersama Universitas Muhammadiyah Gorontalo |
Pelatihan daring bersama Universitas Muhammadiyah Mataram |
Program Tular Nalar pun juga sudah resmi di launching pada 21 Desember 2020 yang dilakukan secara daring. Menjadi moderator pada event tersebut, saya bisa secara langsung melihat bahwa program Tular Nalar ini digodog dengan maksimal oleh para pakar lintas bidang. Hasilnya, kurikulum Tular Nalar diturunkan dalam 8 kompetensi, 3 jenjang dan 8 tema yang diwujudkan dalam berbagai sarana pembelajaran, mulai dari video, website, artikel rubrik, dan lain-lain.
Melalui program Tular Nalar, kompetensi literasi digital dapat diasah sesuai dengan konteksnya. Serta mampu diterapkan dan ditularkan ke berbagai elemen masyarakat. Tentu saja bukan hanya diranah kampus saja, tapi juga sekolah dan komunitas.
Pada akhirnya, ini adalah tentang kesadaran kita sebagai masyarakat digital. Apakah mau diam saja, atau mau bergerak dan membekali diri dengan nalar yang kita punya. Tahu, tanggap dan tangguh terhadap arus informasi yang tidak terbendung, juga kepentingan kelompok yang bersifat destruktif.
Tidak perlu dengan langkah yang besar, mulai dulu dari diri sendiri.
Tular Nalar, Bukan Sekadar Paham. Tapi, semangat untuk mau berpikir dan tidak tinggal diam.
Referensi :
Sumber: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/12/12/p0uuby257-ada-800000-situs-penyebar-hoax-di-indonesia
Post Comment
Post a Comment
You made it all the way here! Thanks for reading. :)
(Untuk meninggalkan komentar, sebaiknya jangan memilih Anonymous agar tidak menjadi brokenlink dan saya hapus.
Tulis saja nama dan url Google/facebook biar lebih aman)