Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Di mana kita berada, harus menjaga tata krama/ sopan santun.
Itulah yang harus kita lakukan jika ingin hidup aman dan nyaman ketika bersosialisasi dengan masyarakat. Karena sopan di satu tempat bisa saja tidak sopan d itempat yang lain. Misalnya saja ketika kita makan di restauran di Jepang. Jika kita menyeruput makanan dengan keras hingga terdengar orang lain, itu adalah hal yang wajar. Bahkan, sang koki akan merasa senang karena itu menjadi bukti bahwa makanan buatannya sangat lezat dan memuaskan konsumen. Beda halnya ketika kita makan di Indonesia. Menyeruput makanan di meja makan bisa dianggap perbuatan tidak sopan. Bahkan mengangkat piring saat makan saja akan dianggap aneh, kelihatan "gragas" kalau orang Jawa bilang.
Itulah salah satu contoh bahwa sopan santun itu bersikap relatif, tergantung di mana kita berada. Meski begitu, kita tidak boleh melupakan yang namanya etika dan etiket. Etika adalah pedoman perilaku yang sifatnya mutlak. Sedangkan etiket adalah pedoman tingkah laku ketika berinteraksi dengan orang lain yang sifatnya relatif. Contohnya, jika kita kentut saat rapat, bisa jadi kita melanggar etika. Tapi jika kita kentut di dalam kamar dan itu sendirian, maka hal ini menjadi tidak masalah karena tidak ada orang lain yang terganggu.
Etika dan etiket bukan hanya berlaku di dunia nyata. Tapi sebaiknya juga kita jaga saat berinteraksi di dunia maya. Apalagi, jumlah waktu yang kita habisnkan untuk berinternet ternyata sangat banyak. Rata- rata orang Indonesia menghabiskan waktu 8 jam 52 menit berselancar di internet ( We are Social Januari 2021). Ngapain aja di internet? Mungkin bisa scrolling media sosial, nonton video di youtube, mendengarkan podcast, mengikuti webinar, mengirim email dan lain sebagainya.
Dalam berinternet kita tidak sendirian. Ada kalanya kita berinteraksi dengan pengguna yang lain melalui tombol like, komentar, saling mengirim pesan lewat instan messaging, dan lain sebagainya. Interaksi ini tidak selalu berjalan positif. Bahkan tidak jarang, seseorang melakukan tindakan bullying, mengeluarkan hate speech atau perbuatan merugikan lainnya seperti melanggar privasi dan penipuan.
Berinterkasi diinternet tetap diikat dengan pedoman perilaku, yang disebut dengan Netiket (Network Etiquette). Bahwa pada dasarnya, ketika berinterkasi di internet kita tidak sedang berhadapan dengan huruf, angka dan layar semata. Namun ada karakter manusia sesungguhnya, Manusia ini bisa sakit hati, marah, dan benci jika mendapatkan perlakukan yang tidak baik dari orang lain.
Internet memang memudahkan jempol kita mengetikkan sesuatu, tanpa melalui proses berpikir logis. Belum lagi ada fenomena seperti echo chamber, filter buble, framing, the death of expertise, hingga hoaks, yang membutuhkan kecakapan lebih dalam menganalisi informasi yang diterima.
Faktanya, memang tidak semua informasi di dunia maya adalah fakta. Begitu banyak informasi palsu (disinformasi dan misinformasi) yang membuat orang menjadi salah sangka, berburuk sangka bahkan melakukan tindakan yang merusak. Informasi faktapun, bisa juga disalahgunakan untuk menyerang pribadi atau kelompok tertentu (malinformasi).
Melihat fenomena yang terjadi inilah, maka sudah menjadi tugas kita bersama untuk mampu menambah amunisi dan menyiapkan perisai diri melalui kecakapan dalam beripikir logis atau critical thinking. Kita tidak dapat mengendalikan informasi yang ada di internet. Namun, kita bisa mengendalikan informasi apa yang kita konsumsi.
Kesadaran akan pentingnya kemampuan berpikir logis dan kritis ini, menjadi salah satu alasan hadirnya program Indonesia Makin Cakap Digital 2021. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menargetkan 12,4 juta warga Indonesia makin cakap digital pada tahun 2021. Peluncuran program ini sekaligus menandai pelaksanaan kelas literasi digital secara simultan di 34 provinsi Indonesia dan 514 kabupaten dan kota. Materi kelas literasi digital didasarkan pada 4 pilar utama, yaitu Etis Bermedia Digital, Aman Bermedia Digital, Cakap Bermedia Digital, dan Budaya Bermedia Digital.
Beberapa waktu lalu saya berkesempatan untuk terlibat sebagai Key Opinion Leader pada webinar yang diadakan untuk Kabutan Bojonegoro dan Sidoarjo pada 29 dan 31 Mei 2021 yang lalu.
Pada kelas daring tersebut saya membawakan tema Positif, Kreaif dan Aman Berinternet serta Digital Content : Do and Don't.
Melalui dua materi tersebut saya memberikan pengalaman sekaligus wawasan bagaimana ketika menjadi digital content creator yang notabene konsumen sekaligus produsen konten digital, harus mempu menjaga etika, etiket sekaligus keamanan. Baik saat berinteraksi dengan sesama pengguna internet, maupun saat mengunggah berbagai data. Karena sejatinya apa yang kita lakukan di internet akan meninggalkan jejak digital, baik aktif maupun pasif yang tidak bisa dihapus. Maka, daripada kita meninggalkan jejak yang tercela baik dalam bentuk komentar, maupun konten provokasi lainnya, bukankah akan lebih positif jika kita menyebar konten edukasi yang menginspirasi.
Pada akhir, ketika berinterkasi dengan sesama manusia di internet, saya berusaha untuk memagang sebuah prinsip "Jika tidak mampu menginspirasi, lebih baik jangan menyakiti".
Semoga program Indonesia Makin Cakap Digital ini akan membawa wawasan baru bagi masyarakat Indonesia. Bahwa di manapun kita berada selalu berpegang teguh pada norma, etika dan nilai agama.
ulasannya sangat bagus, memang etika sosial dalam berinternet faktanya sering di terabas netizen sehingga berujung masalah hukum. Sebenarnya rambu rambu soal etika berinternet sudah di atur dalam UU Ite, cuma jarang ada yang membaca
ReplyDelete